Wednesday, January 28, 2009

IPA atau IPS??

Kenapa Harus IPS?

I. Kenapa Harus IPS?
Judul ini sebenarnya saya ambil sebagai sebuah sindiran bagi salah seorang guru skeptis dikelas saya. Seorang guru yang paling jago untuk –membuat-murid-tidak-bersemangat- mengikuti pelajarannya. Contohnya dengan melontarkan ucapan tidak penting -pada saat genting- dan tidak pernah menggubris jawaban siswa yang benar. Tapi kalau ada jawaban salah, guru itu langsung berkata, “Kenapa harus itu jawabannya?Anak IPA aja bisa!” dengan nada suara membodohkan. Sampai akhirnya banyak terjadi konflik. Padahal, pelajaran yang diajarkan oleh guru itu bakal masuk UNAS.
Itu cuma secuil pengalaman saya sebagai seorang pelajar jurusan IPS. Banyak yang bilang jurusan IPS tempat anak buangan IPA, kelas tersisih, isinya anak nakal dan pemalas, berandal yang kritis,tukang santai, jago nyarat dan sebagainya. Hal itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak seratus persen benar.
Yang jelas, saya cuma ingin memaparkan pengalaman saya sebagai murid IPS. Sebuah buku harian nyata tentang sebuah kehidupan siswa kelas social. Yang bahagia sejahtera karena tidak perlu memikirkan kenapa apel jatuh kebawah atau menghitung tekanan udara.

II. IPS? Sekolah Orang Santai?
Saya pernah mendengar seorang teman dari kelas IPA berkata, “IPA dan IPS itu sama bagusnya, bedanya… belajar di IPS itu lebih santai…”
Benarkah saya sekolah sebagai orang santai??
Bisa dibilang ya…
Bisa juga tidak!
Ya, kami santai. Karena kami tidak perlu menghitung rumus fisika berlembar-lembar. Tidak perlu menghitung massa jenis dan molekul sebangsanya, tidak perlu menghitung gaya sentripetal dan sentrifugal, serta tidak perlu mencari katak untuk dibedah dan diteliti system pencernaannya.
Apakah definisi sibuk-santai itu cuma berkutat di urusan hitung menghitung saja?
Kalau jawabannya tidak, berarti kami termasuk orang-orang sibuk. Kami harus menghadapi pandangan skeptis orang soal dunia IPS setiap hari. Saat bertemu tetangga, saya ditanyai, “Wah, SMA x itu khan bagus! Kamu masuk jurusan apa?”
“IPS…”
“Lho, ngapain masuk IPS?” tanya tetangga itu dengan sinis.
Dan perlakuan seperti itu tidak sekali dua kali, saya sudah kenyang.
Kesibukan kami yang lain adalah berusaha belajar dari buku dan dari lingkungan sekaligus. Hati kecil saya sering tergelitik saat para guru tidak berlaku sama seperti pelajaran yang mereka berikan. Sifat idealis ala Soe Hok Gie muncul, sehingga jam-jam kosong banyak diisi dengan obrolan ringan (yang lama-lama berat) soal pendidik-pendidik bobrok Indonesia. Sayangnya, guru-guru mengira kami cuma hobi mengobrol tidak jelas, karena kami tidak memegang pensil dan kertas berisi angka-angka.

Ini rahasia anak SOS, lho…
SOS bukan Sekolah Orang Santai, melainkan Sekolah Orang Sejati.
Suatu saat, politisi-politis muda akan bermunculan karena satu kata: SOS.
Tunggu saja tanggal mainnya! :cool:


www.gagasmedia.com

No comments:

Post a Comment